15fUkKsZVT9yDgBv50vtln5Ad8Y63wPOAJoCaduz

KPK Akan Menggarap Ulang Kasus Suap Provinsi Riau 2014/2015


FAKTA JURNALIS.COM-Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) akan menggarap ulang kasus suap pengesahan APBD perubahan 2014 dan APBD 2015 Provinsi Riau. Dalam kasus ini, mantan Gubernur Riau, Annas Maamun telah ditetapkan sebagai tersangka.

Mulai besok Senin (25/10/2021), KPK dijadwalkan akan memeriksa sejumlah saksi dalam kasus ini. Di antaranya adalah mantan Ketua DPRD Riau, Johar Firdaus dan Suparman. Kedua politisi Partai Golkar ini sudah divonis bersalah dalam kasus suap APBD tersebut. Namun keduanya dikabarkan masih menempuh upaya hukum peninjauan kembali (PK) di Mahkamah Agung.

Penanganan kasus ini sempat terhenti karena Annas dalam kondisi sakit, pasca-penahannya dalam kasus suap alih fungsi hutan dan ijon proyek pada 2014 lalu. KPK tak kunjung melakukan pemeriksaan karena alasan kesehatan.

Belakangan, setelah mendapat grasi dari Presiden Joko Widodo, Annas Maamun kembali ke Riau. Ia bahkan belum meninggalkan aktivitas politiknya. Baru beberapa hari keluar dari Lapas Suka Miskin, pada  September 2020 lalu, mantan Ketua DPD I Partai Golkar ini Riau sudah berkampanye soal pembentukan Provinsi Riau Pesisir. Di era Annas menjabat gubernur, memang DPRD Riau sudah memberikan persetujuan pembentukan provinsi ini lewat rapat paripurna.Dua pekan lalu, Annas Maamun terlihat dalam acara rapat koordinasi wilayah Partai NasDem Riau. Dalam forum yang dihadiri elit Partai NasDem dari Jakarta, Annas resmi berganti jaket partai. Dari Partai Golkar yang membesarkannya, secara resmi ia sudah menjadi kader Partai NasDem.

Respon warganet pun bermunculan sejak kabar KPK kembali menggarap kasus lawas ini. Netizen menyesalkan kembalinya Annas ke dunia politik. Sebagian warganet menaruh rasa simpati.

"Baru aja nak berpolitik lagi, dah keno pulak," komentar Arfi***

Warganet lainnya berharap KPK menuntaskan kasus ini dengan menjerat seluruh orang yang terlibat dalam suap tersebut. Termasuk kalangan anggota DPRD yang diduga mendapat aliran uang.

"Anggota DPRD yang terima suap siapa-siapa saja? Kok gak ditangkap, Pak?" tanya netizen Rama***

"Hukum seumur hidup saja," tulis warganet Padli.

Kilas Balik Kasus Suap APBD

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah menetapkan mantan Gubernur Riau, Annas Maamun sebagai tersangka pemberi suap kepada sejumlah anggota DPRD Riau periode 2009-2014. Setelah hampir 6 tahun mengendap, KPK baru akan memulai pemeriksaan sejumlah saksi mulai Senin (25/10/2021) mendatang. 

Dua orang saksi akan diperiksa yakni mantan Ketua DPRD Riau, Johar Firdaus dan mantan anggota DPRD Riau, Suparman. Pemeriksaan keduanya yang sudah divonis bersalah dalam kasus suap tersebut akan dilakukan di Mapolda Riau.

Suap terhadap sejumlah anggota DPRD diberikan terkait pengesahan dua anggaran, yakni APBD Perubahan 2014 dan APBD 2015. Pengesahan kedua anggaran tersebut berlangsung secara kilat, meski diduga kuat tanpa pembahasan dan kelengkapan dokumen rencana anggaran. APBD 2015 disahkan dua hari jelang masa jabatan anggota DPRD periode 2009-2014 berakhir, yakni 4 September 2014.

Berdasarkan berkas 3 putusan hukum (tingkat pertama, banding dan kasasi) perkara Johar dan Firdaus, terungkap kalau para anggota DPRD mendapat suap dengan total Rp 1,2 miliar. 

Dalam berkas tersebut disebutkan kalau Annas ingin agar APBD Perubahan 2014 segera disahkan. Termasuk satu paket di dalamnya yakni pengesahan APBD tahun 2015. Namun, proses pembahasan di DPRD tak semulus yang ia harapkan. Sebagian kecil anggota Dewan protes dan menolak membahas anggaran.

Sumber Uang Suap 

Pada tanggal 1 September 2014, Annas pun mengumpulkan sejumlah pejabat teras Pemprov Riau yang merupakan tim anggaran pemerintah daerah (TAPD). Dalam dakwaan Johar disebutkan pertemuan itu dihadiri Sekdaprov Zaini Ismail selaku Ketua Tim Anggaran Pemerintah Daerah (TAPD), Asisten Bidang Ekonomi Pembangunan Wan Amir Firdaus, Asisten Administrasi Umum Hardi Djamaluddin, Kepala Bappeda Yafiz dan Kepala BPBD Said Saqlul Amri serta sejumlah pejabat lainnya.  Keterangan ini disampaikan oleh Suwarno yang ikut dalam pertemuan. Suwarno kala itu menjabat Kasubag Anggaran Biro Keuangan Setdaprov Riau.

Usai berbincang soal kendala pembahasan anggaran, Annas mengemukakan rencana pemberian uang sebesar Rp 1,2 miliar kepada Badan Anggaran DPRD Riau. Soalnya, Dewan tak kunjung mengesahkan APBD yang diajukan Pemprov dengan beragam alasan.

Pinjam Uang Pemadaman Kebakaran BPBD

Untuk memenuhi kebutuhan uang tersebut, Annas meminta agar Kepala Badan Penanggulangan Bencana Daerah, Said Saqlul Amri menyiapkan uang sebesar Rp 500 juta. Saqlul kemudian mengaminkan permintaan Annas tersebut. Kebetulan ada saldo dana pemadaman kebakaran lahan dan hutan sebesar Rp 1 miliar. 

Ia lantas memerintahkan anak buahnya untuk mencairkan uang dan mengambil sebesar Rp 500 juta, selanjutnya diserahkan kepada Suwarno. Suwarno menolak karena uang belum dikemas dalam masing-masing amplop dengan isi variatif Rp 20 juta, Rp 15 juta dan Rp 10 juta, sesuai permintaan Annas. Belakangan Said dalam kesaksiannya menyerahkan uang melalui Wan Amir Firdaus di kediaman gubernur Annas.

Beberapa hari kemudian uang itu dikembalikan oleh Annas. Namun, dari pinjaman Rp 500 juta, uang yang dikembalikan hanya Rp 400 juta. Sebesar Rp 300 juta diserahkan oleh Annas dan Rp 100 juta lagi diserahkan oleh Wan Amir. Sisa sebesar Rp 100 juta, Said mengklaim mengganti dengan uang pribadinya. 

Menurut Said, kewajiban menutupi kekurangan Rp 100 juta harusnya ditalangi Zaini Ismail. Namun Zaini tak kunjung menyerahkan uang, hingga dirinya sendiri yang 'menombokinya'. Said mengklaim kalau uang pinjaman Anas untuk menyuap anggota Dewan sudah dikembalikannya ke kas BPBD Riau.

Terkait pengembalian uang kepada Said Saqlul, Zaini mengaku pernah dipanggil oleh Annas Maamun. Annas ingin meminjam uangnya sebesar Rp 200 juta. Kata Annas, uang akan dipakai untuk mengembalikan uang Said Saqlul sebesar Rp 200 juta. Namun, Zaini hanya punya uang Rp 50 juta.

Zaini juga meminta agar Ayub Khan yang merupakan Kepala Biro Umum menyiapkan uang Rp 50 juta lagi. Total uang Rp 100 juta tersebut kemudian dipegang oleh Ayub Khan dan diserahkan ke Wan Amir. Zaini pernah menghubungi Wan Amir untuk menanyakan apakah sudah menerima uang tersebut dari Ayub Khan.

"Wan Amir menjawab sudah, namun hanya Rp 50 juta dan masih kurang Rp 100 juta lagi. Kemudian Wan Amir meminta saksi (Zaini, red) untuk memikirkan sisanya," kata Zaini dalam keterangannya di berkas perkara. 

Pinjam Uang Operasional PMI Riau

Sementara untuk memenuhi kebutuhan uang yang masih kurang, Annas juga disebutkan menelepon Syahrir Abu Bakar yang merupakan Ketua Palang Merah Indonesia (PMI) Riau. Kepada Syahrir, Annas ingin meminjam uang sebesar Rp 500 juta. Syahrir yang memanggil Annas dengan sebutan 'Ayah' menyanggupi permintaan Annas tersebut.

Syahrir mengecek dana tunai yang disimpan di rumahnya hanya sebesar Rp 205 juta. Syahrir pun berinsiatif mencari tambahan uang sebesar Rp 195 juta agar uang genap Rp 400 juta. Kekurangan uang diperoleh Syahrir dari dana kas PMI Riau. Ia meminta stafnya untuk mencairkan uang sebesar Rp 195 juta. Uang itu semestinya dipakai untuk operasional dan membayar gaji pegawai PMI Riau.

Esoknya pada 1 September 2014, Syahrir yang saat ini menjabat Ketua DPH LAM Riau ditelepon oleh Annas. Annas menagih uang yang dipinjamnya dan menyuruh mengantarkan uang ke kediaman. Namun Syahrir menyatakan kalau uang yang ada cuma Rp 400 juta.

"Ya, ga apa-apa. Sudah cukup itu. Diantar saja kemari," kata Syahrir saat dihubungi Annas lewat telepon, sebagaimana keterangannya tertulis dalam berkas perkara.

Uang pun diantar yang sebelumnya sudah dibagi dalam 20 amplop, masing-masing berisi Rp 20 juta. Rekonstruksi penyerahan uang sudah digelar penyidik KPK pada 21 September 2015 lalu.

Syahrir mengaku sepekan kemudian, uang yang dipinjamkannya langsung dikembalikan oleh Annas. Tahap pertama sebesar Rp 300 juta diberikan di kediaman Gubernur Annas. Sementara sisanya dibayar melalui anak Annas di Jakarta sebesar Rp 100 juta pada November 2014.

Ada lagi perintah penyediaan uang sebesar Rp 110 juta dari Annas yang ditujukan ke Biro Keuangan. Melalui Suwarno permintaan uang tersebut kemudian disampaikan ke Kepala Biro Keuangan, Jonli. Jonli kini menjabat sebagai Kepala Dinas Tenaga Kerja Transmigrasi (Kadisnakertrans) Provinsi Riau.

Dalam keterangannya di berkas perkara, Jonli mengaku pernah ditelepon oleh Suwarno perihal permintaan Annas untuk menyiapkan uang sebesar Rp 110 juta dari Biro Keuangan. Namun, Jonli mengaku sedang berada di Batam dan meminta Suwarno berkoordinasi dengan Hardi Djamaludin, Asisten III Setdaprov. 

Suwarno menyatakan permintaan uang adalah perintah Annas. Akhirnya, Jonli pun mengizinkan pinjaman tersebut yang dicairkan lewat bendahara Biro Keuangan. Perihal pengembalian pinjaman sebesar Rp 110 juta ini, tidak tercantum dalam berkas perkara.

Uang 'pinjaman' yang ditagih dari Said Saqlul, Syahrir Abu Bakar dan Biro Keuangan pun akhirnya terkumpul pada 1 September 2014 sore. Suwarno ditelepon oleh Wan Amir untuk datang ke kediaman Gubernur Annas. Ia diperintah mengantarkan uang yang diduga berjumlah Rp 1,2 miliar ke anggota Banggar DPRD, Kirjuhari.

"Pintar-pintarlah, kalau perlu (diserahkan, red) di tempat jalan sepi," demikian nasihat Annas sebelum pengantaran uang oleh Suwarno ke Kirjuhari.

Suwarno pun berangkat didampingi anggota Satpol PP Burhanudin. Mereka mengontak Kirjuhari yang nomornya diberikan oleh Wan Amir. Transaksi gelap itu pun berlangsung di basement parkiran gedung DPRD Riau usai magrib. Uang berpindah ke bagian belakang mobil Yarris yang dikendarai Kirjuhari. Mereka pun bubaran. Duit dibawa oleh Kirjuhari dan esoknya dilaporkan ke Johar Firdaus.


Janji Pinjam Pakai Mobil Dinas DPRD

Di gedung DPRD Riau, sejumlah wakil rakyat juga bergerak kencang dengan membentuk Tim Penghubung Informal antara DPRD dengan Annas Maamun. Inisiatif pembentukan tim dilakukan oleh Suparman. 

Adapun anggota tim ini berdasarkan berkas putusan terdiri dari Suparman, Azmi Setiadi (PAN), Zukri (PDI Perjuangan), Koko Iskandar (Demokrat), Kirjuhari serta Riki Hariansyah. 

Pembicaraan berkembang di internal DPRD Riau dan Tim Penghubung soal 'lagu permintaan' kepada Annas Maamun. Bahkan, dalam rapat di ruang komisi B DPRD Riau tersebut, seluruh anggota Dewan yang hadir diperintahkan Suparman untuk mencopot baterai handphone masing-masing. 

Rupanya, sejumlah anggota DPRD Riau yang tidak terpilih dalam pileg 2014 ingin tetap mendapatkan mobil dinas yang dipinjam pakai saat menjabat. Harapannya kelak mobil itu tetap mereka kuasai dan miliki dan jika dilakukan lelang akan mendapatkan mobil  tersebut. Suparman pun berjanji akan menyampaikan permohonan perpanjangan pinjam pakai ke Annas.

Belakangan setelah kasus ini terungkap, sejumlah anggota DPRD ramai-ramai mengembalikan mobil dinas yang masih mereka kuasai, meski tidak lagi menjabat sebagai anggota DPRD Riau.


Paket '50 dan 60 Hektar Sawit'

Tak hanya soal penguasaan mobil dinas, pembicaraan di internal DPRD serta Tim Penghubung DPRD juga menyinggung soal uang sagu hati pengesahan APBD Perubahan 2014 dan APBD 2015. Beredar istilah '50 dan 60 hektar sawit' yang ternyata bermakna uang Rp 50 juta dan 60 juta.  

Istilah itu menurut berkas putusan pernah disampaikan oleh Suparman kepada sejumlah anggota DPRD. Suparman disebutnya telah berbicara dengan Annas. Keduanya memang berada dalam satu partai, yakni Golkar. Namun, tidak dijelaskan bagaimana akhirnya realisi paket '50 dan 60 hektar sawit' tersebut secara detil.

Sebelumnya, juga ada pembicaraan soal janji pembagian uang sebesar Rp 200 juta secara terbatas kepada sejumlah anggota DPRD Riau. Belakangan, hasil pembicaraan uang berubah menjadi kisaran Rp 40 juta dan Rp 50 juta.

Penyidik KPK dalam dakwaan dan tuntutannya mengaitkan hal tersebut dengan usaha pengumpulan uang yang digalang oleh Annas Maamun. Dalam sebuah pertemuan, Annas menyatakan kepada sejumlah anak buahnya akan ada pemberian uang sebesar Rp 1,2 miliar kepada anggota DPRD Riau. Duit itu dibagi untuk memperlancar pengesahan APBD 2015. 

Dalam putusan tersebut diterangkan kalau Annas meminta anak buahnya untuk bergotong royong mengumpulkan uang yang akan diberikan kepada anggota Dewan. Hingga akhirnya terkumpul sekitar Rp 1,2 miliar. Uang itu dikumpulkan secara patungan dan sistem peminjaman dari kas operasional sejumlah perangkat (SOTK) dan organisasi bentukan Pemprov Riau.

Belakangan, sebelum pengesahan APBD tahun 2015 tepatnya 1 September 2014 sekitar pukul 4 sore, Annas memerintahkan Wan Amir Firdaus untuk mengantarkan uang sebesar Rp 1,2 miliar kepada Kirjuhari. Wan Amir memanggil anak buahnya Suwarno. Lewat Suwarno uang diantar kepada Kirjuhari. Keduanya kemudian berjanji bertemu di basement parkiran DPRD Riau. Uang pun berpindah ke mobil Yaris milik Kirjuhari.

Esoknya pada 2 September, Kirjuhari melaporkan sudah menerima uang dari Annas kepada Johar Firdaus. Johar meminta agar uang disimpan lebih dulu. 

Dalam putusan kasasi disebutkan kalau Johar menerima uang sebesar Rp 155 juta dari Riki. Sejumlah anggota DPRD lain seperti Solihin Dahlan mendapat Rp 30 juta, Gumpita Rp 10 juta dan Riki sendiri menerima Rp 50 juta. Riki dan Solihin telah mengembalikan uang tersebut ke KPK.

Sejak adanya cerita pembagian uang dan sinyal persetujuan pinjam pakai mobil dinas, pengesahan APBD tahun 2015 pun berlangsung kilat. Meski tanpa proses pembahasan, namun dokumen nota kesepakatan Kebijakan Umum Anggaran (KUA) R-APBD 2015 diteken oleh Johar Firdaus, Noviwaldy Jusman dan Rusli Ahmad. Hal yang sama juga dilakukan terhadap dokumen Prioritas dan Plafon Anggaran Sementara (PPAS) R-APBD 2015.

Dua hari sebelum masa jabatan anggota Dewan berakhir, tepatnya 4 September 2014, APBD Riau tahun 2015 pun disahkan. Hanya dalam beberapa bulan setelahnya, kasusnya ini pun digarap oleh KPK. Tiga orang mantan wakil rakyat Riau telah disidang yakni Johar Firdaus, Suparman dan Kirjuhari. Secara mendadak, pekan lalu KPK dikabarkan akan memeriksa sejumlah saksi mengusut kembali kasus ini. (Tim/Red)

Related Posts

Related Posts

Posting Komentar